Bukan Sembarang Kursi: Akomodasi dan Partisipasi Mahasiswa dengan Disabilitas
- Kastrat PPI London
- Jan 8, 2019
- 9 min read
Updated: Jan 18, 2019
Penulis: Albert Wirya

Sebab-musabab Hans[1] menuliskan surat elektronik panjang bernada komplain sekilas sederhana: gara-gara kursi. Ia menerangkan bahwa ia tidak bisa mendapatkan kursi di laboratorium komputer ketika ia hendak mengerjakan sebuah proyek yang akan menentukan kelulusannya. Ia mengetikkan keluhan itu sambal berdiri, langsung di tempat kejadian perkara. Di sekelilingnya, belasan kursi kosong berjejer.
Namun, masalahnya sebenarnya bukan kursi, melainkan akomodasi. Kursi-kursi yang ada di sana tidak bisa mengakomodasi kebutuhan Hans. Ia memerlukan kursi dengan sandaran kepala sehingga ketika ia duduk tegak ada tempat untuk mengistirahatkan lehernya. Jika tidak, sindrom sakit kronis (chronic pain) yang dideritanya akibat kecelakaan akan semakin menjalar di tulang belakang dan mengganggu konsentrasinya.
“Aku membutuhkan kursi itu untuk menunjang proses belajarku,” tulisnya di salah satu alinea emailnya.
Universitasnya tempat Hans menempuh pendidikan pascasarjana jurusan sistem komputer dan jaringan sebenarnya sudah menyediakan kursi yang memenuhi kebutuhannya. Pihak universitas mereservasi kursi khusus di kelas-kelas yang akan Hans masuki sesuai dengan jadwal kuliahnya. Masalahnya, hari itu, Hans perlu datang ke laboratorium di luar jam pelajaran untuk menyelesaikan proyek mata kuliahnya. Universitas menyatakan bahwa mereka harus diberitahu dua kali dua puluh empat jam sebelumnya. Hans menyatakan bahwa dengan jadwalnya yang padat sebagai seorang mahasiswa pascasarjana dan ayah bagi dua orang anak ia seringkali terpaksa mendadak mengubah jadwal. Kondisi kesehatannya juga kerap kali memaksanya untuk beristirahat di rumah atau rumah sakit.
Di surat elektronik yang dikirimkan ke penanggung jawab disabilitas kampus dan kepala program mata kuliah, ia mengusulkan agar ada pertemuan tatap muka untuk menjelaskan lebih lanjut tentang permasalahannya. Pertemuan itu tidak pernah terjadi. Pihak universitas menerima baik keluhan Hans dan menyediakan satu buah kursi dengan sandaran kepala lagi di laboratorium yang bisa dipakai Hans kapanpun ia datang.
Akomodasi Disabilitas di Inggris
Kursi khusus adalah salah satu wujud akomodasi yang didapatkan Hans karena ia secara terbuka mengidentifikasi dirinya sebagai orang dengan disabilitas. Selain perhatian yang diberikan oleh kampus, Hans juga mendapatkan tunjangan mahasiswa dengan disabilitas (Disability Student Allowances (DSA)). Namun, DSA bukan hanya berarti uang; ada sejarah panjang tentang gerakan aktivis disabilitas Inggris yang terwujud dalam program ini.
Sepanjang sejarah, ada beberapa paradigma yang berkembang dalam melihat isu disabilitas. Paradigma yang paling awal muncul adalah paradigma medis yang melihat disabilitas sebagai gangguan yang perlu diobati, dilengkapi, atau dihilangkan. Pendekatan ini akhirnya mengabaikan keutuhan diri orang dengan disabilitas dengan memperlakukan mereka sebagai objek. Paradigma ini kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang memisah-misahkan antara orang dengan disabilitas dan orang nondisabilitas untuk kepentingan pengobatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.[2]
Pada era 1970an, aktivis-aktivis di Inggris mencetuskan paradigma sosial untuk mengkritisi paradigma medis. Paradigma baru ini menggeser permasalahan utama dari perbedaan biologis yang dimiliki oleh seseorang ke masalah hukum, kebijakan, budaya, dan lingkungan yang membatasi orang-orang yang memiliki gangguan (impairment). Oleh karenanya, pendekatan ini membedakan antara gangguan (impairment) yang bersifat biologis dan disabilitas (disability) yang bersifat sosial.[3] Paradigma ini berusaha untuk melawan segregasi orang dengan disabilitas. Dalam paradigma ini, disabilitas tidak lagi menjadi objek untuk dihilangkan, diminimalisir, atau dihilangkan.[4]
Paradigma sosial yang berkembang di Inggris menjadi salah satu landasan penting dalam realisasi hak orang dengan disabilitas di seluruh dunia. Model ini berhasil mendorong modifikasi halangan-halangan sosial dan budaya di masyarakat. Dalam model ini, orang dengan disabilitas memegang kekuasaan untuk mengatur hidup mereka sendiri.[5]
Pada tahun 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Konvensi Hak-Hak Orang dengan Disabilitas yang mempopulerkan sebuah paradigma baru, yakni paradigma Hak Asasi Manusia (HAM). Permasalahan dalam isu disabilitas bukan semata-mata karena diskriminasi sebagaimana yang ditunjukkan oleh paradigma sosial, melainkan juga karena hilangnya hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya orang dengan disabilitas. Dampak praktis yang ditimbulkan dari paradigma HAM adalah pengarusutamaan isu disabilitas dalam konteks-konteks kebijakan publik dengan mendorong negara menyediakan tempat bagi orang dengan disabilitas untuk berpartisipasi.[6],[7]
Diskursus HAM terkait disabilitas melahirkan sebuah tema penting, yakni akomodasi yang layak (reasonable accommodation). Pengertian akomodasi yang layak adalah:
“Modifikasi dan penyesuaian yang perlu dan sesuai, dengan tidak memberikan beban tambahan yang tidak proporsional atau tidak semestinya, apabila diperlukan dalam kasus tertentu, guna menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.”[8]
Akomodasi yang layak memastikan orang dengan disabilitas bisa menikmati HAM setara dengan orang lainnya. Contoh akomodasi yang paling tampak adalah trotoar yang memiliki guiding block untuk memandu tunanetra dan ramp untuk memudahkan pengguna kursi roda menyusuri jalan. Adanya akomodasi ini menjamin inklusivitas: orang dengan disabilitas dan orang nondisabilitas bisa berada di trotoar yang sama.
Namun penentuan akomodasi yang layak kerap kali tidak mudah, apalagi ketika hak yang ingin dicapai bersifat imateriil seperti pendidikan. Selain jenis disabilitas berbeda-beda, tipe jurusan pendidikan tinggi juga beragam. Mahasiswa dengan autisme yang belajar teknik sipil, misalnya, akan membutuhkan akomodasi yang berbeda dengan mahasiswa tunanetra yang belajar sosiologi.
Pemerintah Inggris berusaha mengadopsi paradigma HAM dengan mengeluarkan kebijakan DSA. Mahasiswa bisa menggunakan uang dari DSA untuk menutupi pengeluaran yang ia keluarkan karena kondisi disabilitasnya.

*sumber: [9]
Sebelum DSA diberikan, calon mahasiswa harus mengikut proses penilaian di mana mereka bisa menjelaskan halangan yang mereka hadapi dan akomodasi yang mereka harapkan.[12] Hans, misalnya, memanfaatkan DSA untuk mendapatkan asisten nonmedis dan taksi. Asisten nonmedis mendampinginya untuk mencatat pelajaran di kelas dan menulis jawaban untuk ujiannya. Akibat nerve entrapment yang dideritanya, Hans tidak bisa menggerakkan jemarinya untuk menulis. Ia juga butuh taksi karena vertigo yang ia miliki membuatnya tidak mampu mengendarai kendaraan umum.
Paradigma HAM berusaha untuk menciptakan struktur pendidikan yang inklusif. Namun, struktur ini tidak akan berfungsi dengan baik apabila stigma buruk masih tumbuh di masyarakat. Hans berkata bahwa lingkungan universitasnya, terutama dosen-dosennya, cukup berkenan baginya. Namun ia juga mengaku bahwa setiap orang memiliki pandangannya sendiri – terkadang merendahkan – tentang disabilitas. Untuk orang-orang ini, Hans mengandalkan satu strategi: membuka dialog.
Tentunya program DSA pemerintah Inggris juga tidak bebas kritik. Para akademisi telah mengkritik kebijakan DSA karena terlalu kaku dalam pengkategorian jenis akomodasi[13], panjangnya waktu penilaian[14], marginalisasi mahasiswa dengan disabilitas psikososial[15], dan kekhawatiran pembocoran status disabilitas dari universitas ke tempat magang[16].
Sekalipun menuai banyak kritik, para aktivis tetap memandang DSA sebagai sebuah keperluan. Mereka menentang rencana pemerintah Inggris pada tahun 2014 dan 2016 untuk mengurangi dan mengubah anggaran DSA dengan alasan bahwa hal ini akan membuat mahasiswa enggan membuka status disabilitasnya dan semakin mengeksklusikan orang dengan disabilitas[17]. Perubahan anggaran DSA juga berpotensi membuat mahasiswa yang memiliki gangguan dalam kategori sedang, seperti disleksia, berpotensi tidak akan mendapatkan talangan dana.[18]
Pada 23 Juni 2016, ancaman terhadap orang dengan disabilitas di Inggris kembali datang ketika 51.9% warganya menuntut Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit). Hans mengatakan bahwa keputusan Brexit yang akan menjadi final pada Maret 2019 akan mengubah secara total lanskap ekonomi Inggris. Ia khawatir bahwa pengetatan anggaran yang paling awal akan dilakukan adalah di bidang disabilitas.
Ada kekhawatiran juga bahwa setelah implementasi Brexit, Inggris akan semakin sulit menyamakan langkah Uni Eropa dalam pemajuan hak orang dengan disabilitas.
Sebelumnya, banyak perubahan positif dalam hukum Inggris terjadi karena inisiatif-inisiatif positif dari Uni Eropa.[19] Keluarnya Inggris memungkinkan dominasi pihak-pihak yang ingin membatasi hak orang dengan disabilitas, contohnya pembatasan kompensasi kasus-kasus diskriminasi berbasis disabilitas.[20]
Apabila potensi-potensi bahaya ini benar terjadi, mahasiswa-mahasiswa seperti Hans akan semakin kesulitan mendapatkan ‘kursi’, baik dalam artian akomodasi maupun partisipasi.
Partisipasi Disabilitas di Indonesia
Terlepas dari kritik terhadap pemberlakuan DSA, perhatian yang diberikan oleh pemerintah Inggris patut diapresiasi dan dapat dijadikan acuan bagi pemerintah Indonesia dalam menyediakan bantuan bagi siswa dengan kebutuhan khusus. Dibandingkan dengan tingkat penyediaan pelayanan bagi penyandang disabilitas di Inggris, partisipasi masih menjadi isu pokok dalam diskursus disabilitas di Indonesia. Hal ini dikarenakan aspek partisipasi disabilitas di bidang pendidikan masih kurang terealisasi. Hanya kira-kira setengah dari total orang dengan disabilitas (54.26%) yang bisa mengenyam pendidikan tingkat SD ke atas. Pendidikan rendah ini menyebabkan banyak orang dengan disabilitas tidak bersemangat untuk masuk ke pasar kerja.[21]
Isro’ Ayu Permata Sari masuk ke dalam kelompok kecil orang dengan disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi. Ia adalah mahasiswa tuli yang tengah menempuh pendidikan sarjana di Sekolah Tinggu Hukum Jentera. Di awal tahun kuliah, Isro’ meminta kampusnya menyediakan akomodasi untuk menunjang kondisi disabilitasnya. Pihak universitas setuju dan menyewa jasa Juru Bahasa Isyarat (JBI) selagi Isro’ belajar di kelas. Ketika tidak ada JBI, kelas menyediakan juru ketik sehingga Isro’ bisa tetap mengikuti pelajaran di kelas.
Apa yang dilakukan Jentera menandakan naiknya perhatian tentang isu disabilitas di perguruan tinggi Indonesia. Pada tahun 2017, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berusaha menggenjot partisipasi orang dengan disabilitas di perguruan tinggi dengan mengeluarkan “Panduan Layanan Mahasiswa Disabilitas di Perguruan Tinggi” yang ditujukan bagi perguruan tinggi di Indonesia.
Panduan ini memberikan contoh akomodasi-akomodasi yang bisa mahasiswa dengan disabilitas manfaatkan ketika belajar, seperti komputer pembaca layar, rekaman audio, JBI, dan lain-lain. Panduan ini juga menjelaskan cara untuk memberikan ujian atau penilaian kepada mahasiswa dengan disabilitas. Selain itu, panduan ini menjelaskan pentingnya aksesibilitas fisik ke gedung perkuliahan, seperti dengan membangun lift, toilet khusus disabilitas, pintu masuk elektronik, dan lain-lain.[22]
Pada tahun 2017, sebanyak 74 perguruan tinggi sudah menerapkan pembelajaran khusus untuk mahasiswa dengan disabilitas. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi juga sudah melakukan sosialisasi, melakukan pelatihan bagi para dosen agar menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan khusus mahasiswa dengan disabilitas.[23]
Namun, karena sifatnya yang masih berupa panduan, tidak ada jaminan kuat bahwa setiap universitas, baik negeri maupun swasta, akan menyediakan akomodasi dan membangun aksesibilitas bagi mahasiswa dengan disabilitas. Dalam panduan ini, tanggung jawab akomodasi untuk mahasiswa disabilitas juga dialihkan sepenuhnya ke pihak universitas. Akibatnya, masih banyak universitas yang tidak memiliki dana dan sarana untuk memberikan pendidikan yang inklusif bagi mahasiswa dengan disabilitas.[24],[25]
Panduan ini juga tidak menjelaskan unsur partisipasi dari calon mahasiswa atau mahasiswa dalam penentuan akomodasi yang layak. Karena tidak ada penjelasan tentang proses penilaian kebutuhan mahasiswa, panduan ini sudah mematok jenis akomodasi yang pasti diperlukan di perguruan tinggi. Selain itu, terdapat masalah-masalah lain dalam pendidikan Indonesia yang akhirnya menyebabkan pendidikan tinggi tidak bisa sepenuhnya inklusif bagi orang dengan disabilitas. Contohnya adalah ketidakinklusifan pendidikan dasar yang menyebabkan orang dengan disabilitas tidak bisa bersaing pada proses pendaftaran universitas.[26] Banyak aktivis disabilitas Indonesia sudah mengkritisi eksistensi Sekolah Luar Biasa (SLB) yang mengeklusi anak dengan disabilitas dan membatasi kebebasan anak untuk memilih sekolahnya sendiri.[27]
Selain hambatan struktural, hambatan kultural juga masih berdampak bagi partisipasi mahasiswa dengan disabilitas. Isro’ mengaku masih kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan kampusnya, dikarenakan orang-orang di kampusnya masih terlihat bingung menghadapinya dan akhirnya memilih diam saja. Isro’ menyarankan seluruh perguruan tinggi di Indonesia agar membuka penerimaan bagi mahasiswa dengan disabilitas dan mendorong kemandirian mahasiswa dengan memberikan akomodasi-akomodasi yang layak.
Artikel ini ditulis untuk dapat menjadi refleksi kita bersama dan besar harapan penulis agar pemerintah melalui badan dan kementerian terkait dapat meningkatkan kepedulian terhadap siswa dengan disabilitas pada masa mendatang terutama pada sektor pendidikan.
Data Diri Penulis:

a. Nama: Albert Wirya
b. Pendidikan: MA European Culture and Thought (Candidate) at University College London
c. Kontak: albertwiryas@gmail.com
[1] Nama sebenarnya disamarkan untuk melindungi privasi.
[2] Asia Pacific Forum, Human Rights and Disability (Sydney: Asia Pacific Forum of National Human Rights Institutions, 2017), hal. 10.
[3] Nick Watson, Alan Roulstone, and Carol Thomas, ‘Understanding the Social Model of Disability’, in Routledge Handbook of Disability Studies (London: Routledge, 2012), hal. 14, 18.
[4] Watson, Roulstone, and Thomas, hal. 14, 16.
[5] Maya Sabatello, ‘A Short History of the International Disability Rights Movement’, in Human Rights and Disability Advocacy, ed. by Maya Sabatello and Marianne Schulze (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2013), hal. 16.
[6] Theresia Degener, ‘Disability in a Human Rights Context’, Laws, 5.35 (2016), 1–24.
[7] Selain tiga paradigma ini, masih ada beberapa pandangan lain yang tidak penulis bahas dalam artikel ini. Paradigma lain untuk mempelajari disabilitas adalah paradigma kritis, minoritas, difabilitas, dan pendekatan Norwegia.
[8] Pasal 2, Konvensi Internasional Hak-Hak Orang dengan Disabilitas.
[9] Student Finance England, “Extra help – Disabled Students’ Allowances”, diakses di http://media.slc.co.uk/sfe/1718/ft/sfe_dsa_guide_1718_d.pdf pada tanggal 28 Desember 2018.
[12] Student Finance England, “Full-time Disabled Students' Allowances”, diakses di https://www.practitioners.slc.co.uk/products/full-time-undergraduate-education/full-time-disabled-students-allowances/general-allowance/ pada tanggal 28 Desember 2018.
[13] Stephanie Hannam-Swain, ‘The Additional Labour of a Disabled PhD Student’, Disability & Society, 33.1 (2018), 138–42.
[14] Jennifer Redpath and others, ‘A Qualitative Study of the Lived Experiences of Disabled Post-Transition Students in Higher Education Institutions in Northern Ireland’, Studies in Higher Education, 38.9 (2013), 1334–50.
[15] Nigel Cox, ‘Enacting Disability Policy through Unseen Support: The Everyday Use of Disability Classifications by University Administrators’, Journal of Education Policy, 32.5 (2017), 542–63.
[16] Sheila Riddell and Elisabet Weedon, ‘Disabled Students in Higher Education: Discourses of Disability and the Negotiation of Identity’, International Journal of Educational Research, 63 (2014), 38–46.
[17] Sarah Lewthwaite, ‘Government Cuts to Disabled Students’ Allowances Must Be Resisted’, Disability & Society, 29.7 (2014), 1159–63.
[18] Mark Taylor and others, ‘Transforming Support for Students with Disabilities in UK Higher Education’, Support for Learning, 31.4 (2016), 368–84.
[19] “Reality Check: What has the EU meant for disability rights?” bbc.co.uk, 22 Juni 2016, diakses di https://www.bbc.co.uk/news/uk-politics-eu-referendum-36594664 pada tanggal 28 Desember 2018.
[20] Trade Union Congress, “Disability Rights: Risks of Brexit”, diakses di https://www.tuc.org.uk/research-analysis/reports/disability-rights-risks-brexit pada tanggal 28 Desember 2018.
[21] Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekononomi dan Bisnis UI, “Lembar Fakta Menuju Inklusifitas Penyandang Disabilitas di Pasar Kerja Indonesia: Analisis oleh LPEM FEB Universitas Indonesia”, diakses di https://www.lpem.org/wp-content/uploads/2016/12/Lembar-fakta-rev5.pdf
[22] Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Panduan Layanan Mahasiswa Disabilitas di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2017), diakses di http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2018/01/PANDUAN-LAYANAN-MAHASISWA-DISABILITAS-DI-PT-Oke.pdf
[23] Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Laporan Kinerja Ditjen Belmawa 2017, (Jakarta: Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2017), hal. 172, diakses di http://belmawa.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/publikasi/2018/LAKIN%202017%20Update.pdf.
[24] Dion Teguh Pratomo, Sudarsono, and Mohammad Fadli, ‘Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas Pendidikan Bagi Penyandang Disabilitas (People with Disability) Di Universitas Negeri Gorontalo’, Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2015, 1–27 <https://media.neliti.com/media/publications/35510-ID-pelaksanaan-perlindungan-hak-atas-pendidikan-bagi-penyandang-disabilitas-people.pdf>.
[25] Irwanto Irwanto and others, Analisis Situasi Penyandang Disabilitas Di Indonesia: Sebuah Desk Review (Depok, November 2010). Hal. 30-31
[26] Widia Primastika, “Penyandang Disabilitas Masih Sulit Mengakses Perguruan Tinggi,” tirto.id, 11 Oktober 2018, diakses di https://tirto.id/penyandang-disabilitas-masih-sulit-mengakses-perguruan-tinggi-c6am pada tanggal 28 Desember 2018.
[27] Indonesia Disability Convention Team, “Indonesia Shadow Report: Implementation of the United Nations
Convention on the Rights of Persons with Disabilities,” diakses di https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=2ahUKEwipy4DOhMHfAhVvxYUKHZyKCvoQFjAAegQICRAC&url=https%3A%2F%2Ftbinternet.ohchr.org%2FTreaties%2FCRPD%2FShared%2520Documents%2FIDN%2FINT_CRPD_ICO_IDN_27065_E.doc&usg=AOvVaw2te6huofYNMvAI1QcuY1Pa, hal. 32.
Comments