top of page
Search

Riuh Rendah Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia

  • Writer: Kastrat PPI London
    Kastrat PPI London
  • Jun 11, 2019
  • 8 min read

Updated: Jun 12, 2019

Penulis: Rendi Prahara Septiawedi



Beberapa saat sebelum pemilihan umum berlangsung, Indonesia dikejutkan dengan dirilisnya “Sexy Killers”, sebuah film dokumenter mengenai dampak dari penambangan batu bara dan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batu bara (PLTU).


Terlepas dari kebenaran isi dari film dokumenter tersebut, muncul ke permukaan usulan agar Indonesia lebih memanfaatkan energi terbarukan dan berupaya untuk meninggalkan energi konvensional yang dianggap “kotor”. Tulisan ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan ‘bagaimana kebijakan pemerintah dalam penggunaan energi konvensional dan upaya memanfaatkan energi terbarukan?’.


Susunan dari tulisan ini adalah sebagai berikut. Bagian A menjelaskan mengenai definisi energi baru dan terbarukan. Bagian B memaparkan potensi energi terbarukan di Indonesia. Bagian C menganalisa kerangka industri ketenagalistrikan dan tantangan realisasi pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.


A. Energi Baru dan Terbarukan


Sebelum membahas lebih lanjut mengenai manifestasi kebijakan energi terbarukan di Indonesia, penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara energi baru dan energi terbarukan. Kedua terminologi ini sering dipadupadankan dalam pelbagai referensi baik tertulis ataupun lisan.


Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU 30/2007) memberikan definisi sumber energi terbarukan sebagai sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aiiran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut [1].


Sedangkan energi baru didefinisikan sebagai sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal) [2].


B. Potensi Energi Terbarukan


Sehubungan dengan pembangunan PLTU di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga konvensional seperti PLTU. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan hingga tahun 2025, PLTU masih akan menyumbangkan sekitar 30 persen dari total kebutuhan listrik nasional dan diharapkan turun hingga 25% pada tahun 2050 [3].


Gambar 1

Sebaran pembangkit Listrik di Indonesia

Sumber: Kementerian BUMN


Dengan besarnya ketergantungan terhadap PLTU, muncul pertanyaan bagaimana proyeksi energi terbarukan di Indonesia. Sebagai negara tropis dan maritim yang terletak diantara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang mumpuni.

  1. Dari tenaga surya, Indonesia bagian timur diperkirakan Indonesia memiliki potensi hingga 207,9 GW [4], namun realisasinya masih sangat minim yaitu kurang dari 100 MW [5].

  2. Potensi sumber daya panas bumi Indonesia sangat besar diperkirakan hingga 27.500 MWe atau sekitar 30‐40% dari potensi panas bumi dunia [6], namun pemanfaatan sumber daya panas bumi baru mencapai 2 GW [7].

  3. Dari sektor energi angin (bayu), potensi yang dimiliki diperkirakan mencapai 978 MW yang tersebar dari Indonesia bagian barat hingga Indonesia bagian timur [8].

Jika digabungkan dengan sumber-sumber energi baru dan terbarukan lainnya, Kementerian ESDM mengatakan potensi energi yang dapat dimanfaatkan mencapai 440.000 MW namun hingga kini yang dapat direalisasikan baru mencapai 2% [9].

Gambar 2

Potensi Energi Terbarukan sebagai Energi Alternatif


Sumber: Pertamina dan Katadata


C. Kerangka Industri Ketenagalistrikan dan Tantangan Realisasi Energi Terbarukan di Indonesia


Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP 79/2014), pemerintah diamanatkan untuk memenuhi target paling sedikit 23% (dua puluh tiga persen) pada tahun 2025 dan pada tahun 2050 paling sedikit 31% (tiga puluh satu persen) dari total kebutuhan energi nasional berasal dari energi baru dan terbarukan [11]. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Rencana Umum Energi Nasional namun hingga akhir 2017, pemanfaatan energi baru dan terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan baru mencapai 12,15% [12].

Dari sudut pandang implementasi proyek ketenagalistrikan, penulis berpendapat terdapat beberapa analisa yang pelru dipertimbangkan:


1. Kewajiban PLN berdasarkan Peraturan Perundang-undangan

Penting untuk memahami bahwa penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik di Indonesia kepada konsumen akhir harus dilakukan oleh negara. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU 30/2009), Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah [13].


Dalam hal ini PLN sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah diberikan hak monopoli untuk menyelenggarakan penyediaan tenaga listrik di Indonesia. Dalam menjalankan fungsi penyediaan tenaga listrik, Mahkamah Konstitusi menyatakan negara harus terlibat dan memiliki kuasa atas penyelenggaraan penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia karena menyangkut kepentingan umum [14].


Berdasarkan alas hukum tersebut, penting untuk memahami bagaimana PLN melaksanakan amanat tersebut. Secara umum terdapat dua metode bisnis PLN yang berlaku saat ini sehubungan dengan penyediaan tenaga listrik. Pertama, PLN menggunakan dana milik PLN atau negara yang digunakan untuk membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik secara independen. Kedua, PLN melakukan kerja sama jual beli tenaga listrik dengan perusahaan pembangkit listrik swasta (Independent Power Producer – IPP) dengan skema Build Own Operate Transfer (BOOT) [15].


Dalam skema pertama seluruh dana yang digunakan dalam pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik adalah dana PLN atau dana yang diberikan oleh milik pemerintah. Dalam skema kedua, PLN akan membeli listrik yang dihasilkan oleh IPP berdasarkan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Pada akhir periode PJBL, IPP akan menyerahkan pembangkit listrik tersebut kepada PLN sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam PJBL.


Pada skema kedua seluruh biaya produksi dan pembangunan dari fasilitas pembangkit menjadi tanggung jawab dari IPP tersebut. Biaya produksi dan biaya terkait lainnya akan menjadi komponen dalam menyetujui harga listrik yang dibeli oleh PLN dari IPP tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku [16].


Gambar 3

Ketentuan Pokok dalam PJBL


Sumber: Kementerian ESDM


2. Kemampuan Pendanaan PLN Yang Terbatas


Hal yang sulit bagi PLN untuk semata-mata bergantung pada skema pertama dimana PLN secara independen membangun dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik. Selain kewajiban dalam pemenuhan akses tenaga listrik bagi masyarakat, PLN sebagai BUMN memiliki tugas untuk memastikan bahwa PLN tidak merugi dan membebani keuangan negara [17]. Terlebih melihat kondisi keuangan PLN hingga saat ini dimana, Rini Soemarno selaku Menteri BUMN, menyatakan pada kuartal III 2018, PLN mencatat kerugian hingga Rp. 18,48 triliun [18].


Perlu dipahami bersama bahwa saat ini biaya awal investasi dan pembangunan energi terbarukan masih dapat dikatakan lebih mahal dibandingkan dengan energi konvensional meskipun seiring berjalannya waktu biaya keseluruhan pembangkit energi terbarukan yang akan muncul lebih murah dibandingkan dengan energi konvensional [19]. Oleh karena itu, dengan terbatasnya dana yang dimiliki oleh PLN maka PLN bergantung kepada dana investor untuk membangun pembangkit energi terbarukan.


Dengan mahalnya biaya investasi dan produksi dari pembangkit tenaga listrik energi terbarukan mengakibatkan harga keekonomian dari listrik yang dijual oleh IPP ke PLN relatif lebih mahal dibandingkan dengan harga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik konvensional seperti batu bara. Dengan menggunakan skema kedua, maka wajar jika harga beli listrik oleh PLN yang dihasilkan energi terbarukan milik IPP lebih tinggi dibandingkan harga beli listrik energi konvensional. Dengan adanya perbedaan harga beli dan harga jual listrik maka PLN dipastikan menderita kerugian. Jika aliran dana yang masuk lebih kecil dibanding dengan aliran dana yang keluar maka PLN bergantung kepada dana yang diberikan pemerintah (lebih lanjut dijelaskan pada Section 3) dan/atau pihak ketiga yaitu investor (lebih lanjut dijelaskan pada section 4).


3. Ketergantungan terhadap Subsidi Pemerintah


Berdasarkan UU 30/2009, penetapan tarif daftar listrik (TDL) untuk konsumen akhir merupakan kewenangan pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat serta Pemerintah Daerah (sesuai dengan kewenangannya) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan pedoman yang diberikan oleh Pemerintah Pusat [20].


Sebagaimana diketahui hingga saat ini, TDL selalu lebih rendah dibandingkan dengan harga beli listrik oleh PLN. Selisih harga beli listrik dan harga jual ditutup dengan alokasi subsidi APBN kepada PLN. Berdasarkan hal tersebut, secara keuangan PLN bergantung kepada subsidi dari pemerintah pusat. Penetapan TDL yang terlampau rendah bahkan dikritik oleh Bank Dunia karena tidak mencermin biaya operasional yang semestinya [21]. Dikarenakan PLN baik secara langsung ataupun tidak langsung bergantung kepada dana pemerintah maka selain melalui subsidi, opsi yang dapat diambil agar PLN dapat mengembangkan kegiatan usahanya adalah penambahan modal kerja kepada PLN melalui suntikan dana APBN diluar subsidi listrik.


Sehubungan dengan hal ini, penulis tidak bermaksud untuk mendorong pemerintah menaikan TDL karena hal ini membutuhkan analisa komprehensif dari berbagai sektor selain faktor keekonomian dari penyediaan tenaga listrik. Informasi dipaparkan ini untuk memberikan gambaran bahwa dengan kondisi saat ini belum memungkinkan untuk menggunakan dana PLN dalam memenuhi target pemanfaatan energi baru dan terbarukan.


Gambar 4

Subsidi Energi

Sumber: Dirjen Listrik - Kementerian ESDM

4. Menarik Minat Investasi di bidang Energi Terbarukan.

Kerugian yang terus diderita oleh PLN menjadi cerminan dalam merencanakan pembangunan pembangkit energi terbarukan secara independen. Dengan kondisi seperti ini, Kementerian ESDM dan PLN mengupayakan skema kedua dengan memikat investor dibidang energi terbarukan.


Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah namun realisasi investasi dibidang energi terbarukan masih belum memenuhi target yang diharapkan, tercatat hingga September 2018 realisasi investasi baru sebesar US$ 1,16 miliar atau 57,7% dari target tahun 2018 sebanyak US$ 2,01 miliar [22].


Terdapat beberapa alasan investor kurang melirik sektor energi terbarukan, diantaranya adalah [23]:

  1. Harga pembelian listrik oleh PLN untuk energi terbarukan dibatasi di angka yang terlalu rendah sehingga tidak menarik bagi pengembang pembangkit baru. Bahkan di beberapa daerah lebih rendah daripada harga pembangkit batubara. Sebagaimana dijelaska diatas, biaya awal investasi dan produksi energi terbarukan lebih besar dibandingkan energi konvensional. Jika harga listrik yang dibeli oleh PLN dibatasi pada level yang tidak menguntungkan investor maka kecil kemungkinan investor tertarik untuk berinvestasi pada sektor energi terbarukan. Penulis berpendapat patokan harga beli listrik yang belum mengakomodasi pertimbangan biaya produksi dan keuntungan perusahaan dapat mengurangi keinginan investor untuk melakukan investasi pada pembangkitan energi baru dan terbarukan.

  2. Adanya perubahan kebijakan dan peraturan yang dilakukan oleh pemerintah berujung pada ketidakpastian dan penundaan, serta meningkatkan risiko bagi para investor. Situasi politik dan perubahan kebijakan yang kurang terkendali mengakibarkan investor sulit dalam menerka dan melakukan kalkulasi resiko mereka. Saat ini salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan surat jaminan pemerintah. Pada PJBL pun telah dimasukan ketentuan mengenai perlindungan atas perubahan kebijakan dan peraturan yang dapat merugikan investasi di sektor ketenagalistrikan. Penulis mencermati bahwa solusi diatas sudah tepat guna namun lebih bersifat reaktif. Investor perlu mempertimbangkan stabilitas kegiatan usahanya agar dapat memaksimalkan tujuan dari masing-masing perusahaan. Oleh karena itu, pemerintah, sebelum menerbitkan suatu kebijakan dan peraturan, dapat berkonsultasi terlebih dahulu dengan pelaku industri energi baru dan terbarukan agar dapat mempertimbangkan hal-hal yang dianggap memberatkan pengembangan industri pemanfaatan energi baru dan terbarukan.

  3. Subsidi dan dukungan finansial untuk bahan bakar fosil khususnya batu bara bertentangan dengan keinginan untuk melakukan transisi ke energi terbarukan. Penulis melihat perlu adanya koordinasi lintas lembaga negara untuk memastikan sinergi antara pemanfaatan bahan bakar fosil dan energi terbarukan. Tidak dapat dipungkiri bahwa industri pertambangan batu bara, minyak dan gas bumi merupakan industri vital di Indonesia sehingga tidak dapat dibenturkan secara langsung antara industri energi konvensional dan industri energi terbarukan. Hal yang diharapkan oleh investor pada sektor energi terbarukan adalah keseimbangan dalam pemberian subsidi dan dukungan finansial. Kebijakan yang tidak seimbang antara kedua bidang tersebut mengakibatkan adanya benturan yang justru berakibat negatif terhadap pemenuhan target pemerintah di sektor energi baru dan terbarukan.

Gambar 5

Upaya Mewujudkan Indonesia Terang dan Energi Berkeadilan



Kesimpulan

Melepaskan ketergantungan terhadap energi konvensional bukanlah hal yang mustahil. Pemerintah telah mencanangkan target pemanfaatan energi terbarukan paling sedikit 31% dari total kebutuhan nasional pada tahun 2050. Pemenuhan target ini memerlukan kebijakan dan koordinasi lintas lembaga negara. Terbatasnya kemampuan pendanaan PLN perlu dicermati dalam usaha realisasi target pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Usaha menarik dana dari pihak ketiga agar mau berinvestasi merupakan opsi yang mumpuni agar tidak semata-mata membebani PLN dan keuangan negara.

***


Data Diri Penulis:


a. Nama: Rendi Prahara Septiawedi

b. Pendidikan: Master of Laws (LLM) in Energy Law (candidate) at University College London

c. Kontak: rendiprahara@gmail.com



Referensi:


[1] Pasal 1 (6) UU 30/2007

[2] Pasal 1 (4) UU 30/2007

[3] Safyra Primadhyta, ‘Batu Bara Tetap Jadi Sumber Energi Utama Hingga 2050’ (9 Mei 2018) <https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180509092041-92-296811/batu-bara-tetap-jadi-sumber-energi-utama-hingga-2050> diakses pada 9 Juni 2019.

[4] Adi Permana, ‘Prof. Priyono Soetikno: Indonesia Mempunyai Potensi Energi Baru dan Terbarukan yang Melimpah’ (2 Oktober 2018) <https://www.itb.ac.id/news/read/56825/home/prof-priyono-soetikno-indonesia-mempunyai-potensi-energi-baru-dan-terbarukan-yang-melimpah> diakses pada 9 Juni 2019.

[5] Humas FT UGM, ‘Menteri ESDM: “Potensi Energi Terbarukan Melimpah” (21 Januari 2019) <http://ft.ugm.ac.id/menteri-esdm-potensi-energi-terbarukan-melimpah/> diakses pada 9 Juni 2019.

[6] Nenny Saptadji, ‘Energi Panas Bumi’ <http://geothermal.itb.ac.id/sites/default/files/public/Sekilas_tentang_Panas_Bumi.pdf> diakses pada 9 Juni 2019.

[7] Humas FT UGM (n5).

[8] Anastasia Arvirianty, ‘RI Punya Potensi 978 MW Tenaga Angin, Ini Sebarannya’ (24 September 2018) < https://www.cnbcindonesia.com/news/20180924102847-4-34413/ri-punya-potensi-978-mw-tenaga-angin-ini-sebarannya> diakses pada 9 Juni 2019.

[9] Humas EBTKE Kementerian ESDM, ‘Pengembangan EBTKE: Wujud Bela Negara Demi Ketahanan Energi’ (25 April 2019) <http://www.ebtke.esdm.go.id/post/2019/04/25/2224/pengembangan.ebtke.wujud.bela.negara.demi.ketahanan.energi> diakses pada 9 Juni 2019.

[10] Budi Raharjo, ‘Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Indonesia’ (10 Desember 2017) https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/17/12/10/p0qum1415-pengembangan-energi-baru-terbarukan-di-indonesia diakses pada 9 Juni 2019.

[11] Pasal 9 PP 79/2014.

[12] ‘Kajian Skema Dana Energi Terbarukan Sebagai Insentif Percepatan Pemanfaatan Energi Terbarukan’ <https://fiskal.kemenkeu.go.id/dw-konten-view.asp?id=20190315083343611875983> diakses pada 9 Juni 2019.

[13] Pasal 3 UU 30/2009.

[14] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015.

[15] Price Waterhouse Cooper (PWC), ‘Power in Indonesia’ < https://www.pwc.com/id/en/publications/assets/eumpublications/utilities/power-guide-2018.pdf> hlm. 50, diakses pada 10 Juni 2019.

[16] Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM < http://www.djk.esdm.go.id/pdf/Coffee%20Morning/Agustus%202017/Paparan%20Direktur%20Pembinaan%20Pengusahaan%20Ketenagalistrikan.pdf> diakses pada 10 Juni 2019.

[17] Shintaloka Pradita Sicca "Pendanaan Energi Baru Terbarukan Masih Jadi Persoalan bagi PLN", 23 Mei 2018 <https://tirto.id/pendanaan-energi-baru-terbarukan-masih-jadi-persoalan-bagi-pln-cKYV> diakses pada 10 Juni 2019.

[18] Sylke Febrina Laucereno, ‘Rini Jelaskan soal Kerugian PLN Rp 18 Triliun’ (31 Oktober 2018) < https://finance.detik.com/energi/d-4282020/rini-jelaskan-soal-kerugian-pln-rp-18-triliun>.

[19] AKHDI MARTIN PRATAMA, "Jokowi Akui Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga EBT Lebih Mahal dari Fosil", <https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/02/211700226/jokowi-akui-pembangunan-pembangkit-listrik-tenaga-ebt-lebih-mahal-dari-fosil> diakses pada 10 Juni 2019.

[20 ] Pasal 5 dan Pasal 34 UU 30/2009.

[21] World Bank ‘Infrastructure Sector Assessment Program’ < http://documents.worldbank.org/curated/pt/344291543806058788/pdf/11-06-2018-Indonesia-PLR-final-to-SECPO-11062018-636793848545516324.pdf> diakses pada 10 Juni 2019.

[22] Febrina Ratna Iskana, ‘Target investasi energi terbarukan tahun ini sulit tercapai’ <https://industri.kontan.co.id/news/target-investasi-energi-terbarukan-tahun-ini-sulit-tercapai> diakses pada 10 Juni 2019.

[23] Intan Pratiwi, ‘Hambatan Pengembangan EBT di Indonesia’ 3 April 2018 < https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/migas/18/04/03/p6m370416-hambatan-pengembangan-ebt-di-indonesia> diakses pada 10 Juni 2019.

 
 
 

Comments


  • Facebook - White Circle
  • YouTube - White Circle
  • Instagram - White Circle


    Follow us on:


    Background photo credit: UCL, KCL, LSE, QMUL, LBS

    bottom of page