top of page
Search

Jalan Panjang Mengakhiri Epidemi Tuberkulosis 2030

  • Writer: Kastrat PPI London
    Kastrat PPI London
  • May 9, 2019
  • 11 min read

Penulis: Irwan Saputra Batubara



Untuk pertama kalinya, pada 28 September 2018, bertempat di markas besar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, diadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) yang dihadiri oleh berbagai kepala negara anggota PBB dengan tujuan merumuskan bersama aksi untuk mengakhiri epidemi Tuberkulosis (TB) pada tahun 2030.


Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari strategi memerangi TB yang disepakati dalam World Health Assembly pada Mei 2014, yang kemudian diadopsi sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) pada September 2015. Secara spesifik, pada tahun 2030, ditargetkan tercapainya penurunan 90% angka kematian yang disebabkan TB dan penurunan 80% insidensi TB (jumlah kasus baru per 100.000 penduduk). Dalam KTT ini, Indonesia diwakili oleh Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), dan beberapa kalangan professional.


Sebelumnya, pada November 2017 di Rusia, untuk pertama kalinya pula diadakan konferensi WHO tingkat Menteri Kesehatan dunia yang menghasilkan deklarasi Moscow untuk mengkakhiri TB. Secara singkat, isi deklarasi ini tidak hanya membahas aspek teknis penanganan TB seperti perbaikan-perbaikan alur diagnosis, terapi dan pencegahan saja.


Namun, ditekankan pula pentingnya ketersediaan dana terutama bagi negara-negara dengan kasus resistensi obat yang tinggi, meningkatkan percepatan riset pengembangan obat dan vaksin, bersama-sama memerangi stigma terhadap pasien TB, serta membangun kerjasama multisektroal antara pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat sipil, universitas dan lembaga riset, maupun lembaga penyandang dana seperti World Bank dan the Global Fund to Fight AIDS, TB and Malaria. (Penjelasan detil tentang Deklarasi Moscow dapat dilihat di https://www.who.int/tb/features_archive/Moscow_Declaration_to_End_TB_final_ENGLISH.pdf?ua=1)


Secara regional, komitmen untuk mengakhiri TB juga dikumandangkan oleh negara-negara yang tergabung dalam The WHO South East Asia Region (SEARO) dengan 11 anggotanya yaitu: Bangladesh, Bhutan, Korea Utara, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka, Thailand, dan Timor-Leste, pada pertemuan tingkat Menteri yang diadakan di New Delhi pada Maret 2018.


Contoh diatas hanya sebagaian kecil dari upaya global untuk ‘memberantas’ salah satu penyakit infeksi tertua di dunia ini pada tahun 2030. Seberapa mendesakkah permasalahan TB secara global saat ini? Bagaimana kontribusi Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penderita TB terbanyak ketiga di dunia, dalam menyukseskan upaya global ini?


Infeksi Tuberkulosis


Penelitian pada tulang belulang manusia menunjukkan penyakit TB telah menyerang manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa TB merupakan salah satu penyakit infeksi tertua di dunia. Penyebab utama baru diketahui secara pasti pada tanggal 24 Maret 1882, ketika Dr. Robert Koch berhasil menemukan dan mengisolasi bakteri tahan asam berbentuk batang yang dinamakan Mycobacterium tuberculosis. Hari yang kemudian diperingati sebagai Hari TB dunia.


Sebagian besar kasus TB menyerang paru-paru (85%), namun bakteri ini dapat menyerang berbagai organ (ekstra paru) seperti otak, tulang, saluran cerna, saluran kemih, hingga saluran reproduksi baik wanita dan pria. Penyakit ini menyebar ketika orang dengan penyakit TB aktif mengeluarkan percikan (droplet) yang mengandung kuman TB ke udara. Saat batuk, droplet yang dihasilkan berjumlah 3000, atau setara dengan kurang lebih 3500 bakteri TB, sedangkan bersin mengeluarkan 4500-1.000.000 bakteri TB.


Gambar 1. Pengecatan Mycobacterium tuberculosis dengan carbolfuchsin. Sampel merupakan bakteri TB yang diisolasi pertama kali oleh Robert Koch, pembesaran 100x. Sumber: Taylor et al., 2003.



Gejala klasik infeksi TB paru meliputi batuk lama (biasanya lebih dari 2 minggu), penurunan berat badan, demam, keringat malam hari, batuk darah, nyeri dada, dan lemas berkepanjangan. Diperkirakan 10% kasus infertilitas (kemandulan) pada wanita di seluruh dunia disebabkan oleh TB pada saluran telur dengan tanda dan gejala yang tidak spesifik, seperti nyeri pinggang, nyeri saat berkemih, dan frekuensi berkemih yang meningkat.


Walaupun TB menginfeksi sekitar 2 milyar penduduk dunia (TB laten), namun hanya sebagian kecil (5-10%) yang berkembang menjadi penyakit TB aktif. Probabilitas tejadinya TB aktif dipengaruhi oleh faktor individu seperti orang dengan infeksi HIV, malnutrisi, diabetes, perokok, pengguna narkoba suntik. Selain itu, faktor lingkungan seperti tempat tinggal yang sangat padat, kualitas sanitasi yang buruk serta kurangnya ventilasi dan paparan sinar matahari, juga jadi faktor yang tak kalah berpengaruh. Secara umum, 90% kasus TB aktif menyerang dewasa (kelompok usia >15 tahun), dengan rasio pria dan wanita adalah 2:1.


Penegakan diagnosis TB dapat dilakukan dengan pemeriksaan dahak pasien untuk menemukan bakteri TB, metode kultur bakteri TB, dan yang saat ini mulai banyak digunakan, adalah tes cepat molekuler (rapid molecular tests-Xpert MTB/RIF) yang dapat memberikan hasil dalam 2 jam. Metode-metode tersebut tentunya harus dikombinasikan dengan pemeriksaan dan wawancara mendalam oleh dokter untuk menggali riwayat dan faktor risiko yang dimiliki pasien. Bahkan, bukan tidak mungkin seorang pasien didiagnosis TB walaupun hasil pemeriksaan pendukung lainnya menunjukkan hasil negatif, karena bagaimanapun tiap alat diagnosis memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.


Tanpa pengobatan, angka kematian TB cukup tinggi. Sekitar 70% pasien dengan pemeriksaan dahak positif TB meninggal dalam kurun 10 tahun sejak didiagnosis. Dengan perkembangan antibiotik, saat ini TB dapat disembuhkan dengan kombinasi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan minimal 6 bulan hingga 12-24 bulan untuk kasus TB resisten obat. Terdapat beberapa jenis resistensi OAT seperti Rifampicin resistant (RR-TB), multi drug reistant (MDR-TB), dan extensively drug resistant (XDR-TB). MDR-TB merupakan penyakit TB yang resisten terhadap Isoniazid dan Rifampicin secara bersamaan.


Sedangkan, XDR-TB merupakan MDR-TB yang sekaligus resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu OAT lini kedua jenis suntikan seperti Kanamisi, Amikasin dan Kapreomisin. Kombinasi OAT dapat bermacam-macam, namun umumnya isoniazid, rifampicin, ethambutol, dan pyrazinamide merupakan pilihan lini pertama untuk pengobatan TB non MDR.


Gambaran Terkini Epidemi TB Global


Secara global, terdapat setidaknya 10 juta (9-11 juta) orang dengan TB aktif. Dengan jumlah penderita laki-laki 5.8 juta, perempuan 3.2 juta, dan anak 1 juta. Mengejutkannya, dua pertiga dari kasus TB dunia terdapat pada 8 negara, yaitu India (27%), Cina (9%), Indonesia (8%), Filipina (6%), Pakistan (5%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%) dan Afrika Selatan (3%).


Kedelapan negara ini, ditambah dengan 22 negara lain yang ditetapkan WHO dalam daftar 30 negara dengan beban TB tinggi, menyumbang 87% dari seluruh kasus TB secara global, dimana region Eropa dan Amerika hanya menyumbang masing-masing 3% kasus. Sebanyak 9% dari keseluruhan kasus TB terjadi pada orang dengan infeksi HIV. Pada tahun 2017, angka kematian akibat TB mencapai 1.3 juta pada orang dengan HIV negatif, sedangkan pada orang dengan HIV positif angka kematian mencapai 300 ribu.


Tabel 1. Daftar 30 Negara Dengan Beban Tinggi TB Pada Tahun 2017 (Angka dalam satuan ribu). Sumber: Global Tuberculosis Report 2018.



Epidemi TB sangat dipengaruhi oleh tingkat ekonomi suatu negara. Menurut laporan tahunan WHO 2017, insidensi (kasus baru per 100.000 penduduk) TB pada high-income country adalah kurang dari 10 kasus, 150-400 kasus pada hampir semua 30 negara yang termasuk daftar beban tinggi TB, dan lebih dari 500 kasus pada Mozambique, Filipina, dan Afrika Selatan.


Permasalahan TB semakin kompleks dengan adanya 558.000 orang di seluruh dunia yang mengalami RR-TB, yang mana Rifampicin merupakan obat lini pertama yang paling efektif, dan 82% dari itu mengalami MDR-TB. Hampir 50% kasus MDR TB terjadi di tiga negara, India (24%), Cina (13%) dan Rusia (10%) dengan 8.5% diantaranya berkembang menjadi XDR-TB.


Gambar 2. Negara-negara Dengan Beban Tinggi TB, TB/HIV dan MDR-TB Periode 2016-2020. Tampak Overlapping pada Beberapa Negara. Sumber: Global Tuberculosis Report 2018.




Progres Pengurangan Angka Kesakitan dan Kematian Akibat TB


Untuk mencapai taget mengakhiri TB pada tahun 2030, setidaknya jumlah insidensi TB (kasus baru per 100.000 populasi) harus ditekan 4-5% per tahun, dan jumlah kasus meninggal akibat TB (case fatality rate) harus menurun sebanyak 10%. Di tahun 2017, proporsi angka kematian TB adalah 16%, turun sebanyak 7% dari tahun 2000. Secara global, insidensi TB turun sebanyak 2% per tahun, dimana Kawasan Eropa dan Afrika menunjukkan angka penurunan tertinggi, masing-masing 5% dan 4%.


Angka kematian penderita TB pada individu HIV negatif mengalami penurunan sebanyak 29% sejak tahun 2000, dari 1.8 juta menjadi 1.3 juta di tahun 2007. Tren yang sama juga terjadi pada individu dengan HIV positif, terjadi penurunan sebanyak 44%, dari 534.000 pada tahun 2000 menjadi 300.000 di tahun 2017.


Pada MDR-TB, dengan estimasi sebanyak 558.000 kasus, hanya sekitar 25% pasien yang mendapat pengobatan MDR-TB yang adekuat, termasuk pengontrolan dan pencatatannya. Keberhasilan pengobatannya pun tidak begitu menggembirakan, yaitu sebesar 55% secara global. Kendati demikian, Bangladesh, Ethiopia, Kazakhstan, Myanmar, dan Vietnam berhasil mencapai angka keberhasilan lebih dari 70%.


Target Pemberantasan TB dalam Sustainable Development Goal


Selama 15 tahun, usaha global dan nasional digalakkan untuk menurunkan beban TB melalui Milenium Development Goals (MDGs). MDGs diinisiasi oleh PBB pada tahun 2000, dimana salah satu poin didalamnya, tepatnya pada poin 6c, khusus menargetkan pemberantasan TB dengan focus halt and reverse TB incidence. Pada Oktober 2015, WHO mengumumkan bahwa target mereduksi baik insidensi (kasus baru), prevalensi (kasus baru dan lama), dan angka kematian TB telah tercapai. Pada 2016, MDGs dilanjutkan dengan suatu target baru, yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang diharapkan seluruh target didalamnya dapat dicapai pada tahun 2030.


Secara umum, SDGs berisi 17 tujuan pembangunan dunia yang berkelanjutan, dimana target ketiga dikhususkan pada bidang kesehatan, yaitu “memastikan kehidupan yang sehat dan mempromosikan gaya hidup sehat untuk seluruh manusia pada segala usia”. Tiga belas target ditetapkan untuk mencapai hasil tersebut, dan salah satu targetnya, yaitu target 3.3, secara eksplisit menjabarkan “megakhiri epidemi TB, AIDS, malaria dan penyakit tropis yang terabaikan, serta melawan hepatitis, penyakit yang ditularkan melalui air, dan penyakit menular lainnya pada tahun 2030.”


Target 3.8 juga menjabarkan tentang Universal Health Coverage, yaitu sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau. Cakupan universal mengandung dua elemen inti yakni akses pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga, dan perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan. Universal health coverage menuntut upaya pelayanan kesehatan yang maksimal bagi masyarakat.


Guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof. Ascobat Gani mengatakan, mutu pelayanan bukan hanya ditentukan premi, melainkan juga ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan. Menurutnya, harus seimbang antara jaminan dan akses. Sebesar apa pun premi, jika belum ada pemerataan fasilitas kesehatan di seluruh pelosok Tanah Air, tujuan utama dari pelaksanaan universal health coverage tidak akan tercapai.


Gambar 3. Proyeksi Penurunan Insidensi dan Angka Kematian Yang Dibutuhkan Untuk Mencapai Target Pemberantasan TB 2030. Sumber: Global Tuberculosis Report 2018




Pada 2030, ditargetkan penurunan sebesar 90% angka kematian akibat TB dan 80% penurunan insidensi TB, dibandingkan angka pada tahun 2015. Selanjutnya, pada tahun 2035, ditargetkan penurunan 95% angka kematian dan 90% insidensi TB. Target terdekat adalah mereduksi 35% angka kematian dan 20% insidensi TB pada tahun 2020. The Stop TB Partnership mengembangkan program Global Plan to End TB 2016-2020, yang berfokus pada aksi dan penggalangan dana untuk mencapai target tahun 2020. Estimasi dana yang dibutuhkan untuk program ini di 119 low-and-middle-income country adalah sebesar 10.4 milyar Dollar AS pada 2018. Saat ini, dana yang tersedia hanya sebesar 6.9 milyar Dollar AS, artinya, masih terdapat selisih sebanyak 3.5 milyar Dollar AS.


Gambar 4. Estimasi Kebutuhan Dana Untuk Program Prevensi, Diagnosis, dan Pengobatan TB Pada Negara Low-and-Middle Income, 2016-2020. Sumber: Global Tuberculosis Report 2018.




Kondisi di Indonesia


Peringkat Indonesia dalam insidensi TB mengalami penurunan dari yang sebelumnya pada posisi kedua di tahun 2016, menjadi posisi ketiga ditahun 2017 setelah India dan Cina. Terdapat penurunan angka absolut insidensi sebanyak 178.000 kasus. Meskipun demikian, TB masih menjadi masalah kesehatan utama secara nasional.


Tercatat, jumlah kasus baru yang terjadi pada 2017 sebanyak 420.994, dengan estimasi prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini dimungkinkan karena kelompok laki-laki lebih terpapar faktor risiko TB, salah satunya merokok. Ditemukan 68.5% perokok aktif pada kelompok laki-laki, sedangkan hanya 3.7% pada kelompok perempuan. Menurut pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2018, semakin bertambah usia seseorang, semakin rentan terjadinya TB aktif.


Hal ini diduga terjadi karena adanya re-aktivasi infeksi lama serta paparan terhadap bakteri TB yang lebih lama dibanding kelompok usia muda. Sebaliknya, faktor pendidikan berbanding tebalik dengan prevalensi TB, namun demikian terlihat bahwa hampir semua kelompok sosial ekonomi rentan terhadap infeksi TB aktif, perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas.


Gambar 5. Prevalensi TB menurut usia, Pendidikan dan faktor ekonomi. Sumber: Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014, Kemenkes RI.




Tren angka keberhasilan (success rate) di Indonesia masih fluktuatif tiap tahunnya. Angka keberhasilan adalah jumlah semua kasus TB yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan. WHO menetapkan standar angka keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Angka ini sangat berperan dalam menentukan upaya penanggulangan kedepannya karena akan mempengaruhi penularan penyakit.


Beban TB nasional diperberat dengan meningkatnya jumlah kasus MDR-TB sehingga meningkatkan pembiayaan program, angka pengangguran yang masih tinggi, rendahnya pendapatan per-kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang tidak memadai sehingga berakibat tingginya masyarakat terjangkit TB.


Gambar 6. Angka keberhasilan pengobatan TB semua kasus tahun 2008-2017. Sumber: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2018.




Pemberantasan TB Sebagai Program Nasional


Sejak tahun 1994, pemerintah Indonesia telah bekerjasama dengan WHO untuk mengaplikasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) sebagai suatu upaya baru penanggulangan TB. Secara umum, strategi ini berarti pengawasan langsung minum obat setiap hari oleh Pengawas Minum Obat (PMO), sehingga diharapkan meningkatkan kesembuhan dan menurunkan angka putus berobat yang dapat berkembang menjadi TB resisten.


Lima kunci yang harus diterapkan dalam strategi DOTS adalah: 1. Komitmen; 2. Tepat diagnosis; 3. Tersedianya obat; 4. Pengawasan minum obat; 5. Pencatatan dan pelaporan kasus. Di tahun 1998, angka keberhasilan program ini mencapai 89% namun cakupan penemuan kasus baru hanya mencapai 9.8% sehingga ekspansi program ini menjadi sangat lamban.


Secara garis besar, program penanggulangan TB nasional diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Penanggulangan TB dilaksanakan secara desentralisasi dimana Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program dengan menggunakan pedoman standar nasional sebagai kerangka dasar dan memperhatikan kebijakan global untuk Penanggulangan TB.


Selanjutnya, setiap kasus TB yang ditemukan akan diobati di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang meliputi puskesmas, klinik, dan dokter praktik mandiri (DPM) serta fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) yang meliputi: rumah sakit pemerintah, non pemerintah dan swasta, rumah sakit paru (RSP), balai besar/balai kesehatan paru masyarakat (BB/BKPM).


Pemerintah menjamin ketersediaan OAT dan diberikan kepada semua pasien secara cuma-cuma baik golongan OAT lini pertama maupun lini kedua. Demi mengurangi stigma kepada pasien, pasien TB tidak dipisahkan dari keluarga, masyarakat, dan pekerjaannya. Pemerintah juga menggalakkan promosi kesehatan dan peran serta masyarakat sehingga pasien terduga TB mendapat dukungan untuk berobat dan menghindari stigma serta diskriminasi dari masyarakat.


Selain itu, masyarakat khususnya keluarga yang dibantu oleh kader posyandu, pos TB desa, tokoh masyarakat atau tokoh agama berperan dalam penemuan kasus secara aktif dan masif. Contohnya, pada 10-15 orang yang kontak erat dengan pasien TB, penemuan di tempat khusus seperti asrama, panti asuhan, panti jompo, penampungan pengungsi dan daerah kumuh.


Untuk menjamin pelaksanaan kegiatan program TB nasional seperti kelancaran suplai obat, bahan laboratorium, dan pelatihan bagi petugas kesehatan, maka dibutuhkan dana yang cukup besar. Dana untuk program TB nasional didapatkan dari APBN, APBD, dana hibah, asuransi kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan dana pihak swasta seperti kegiatan pertanggung jawaban sosial perusahaan. Kementerian Kesehatan RI melalui Sub Direktorat TB akan melibatkan pemerintah daerah untuk Bersama-sama mengelola dana APBN dengan beberapa skema, seperti:

  1. Dana Dekonsentrasi yaitu dana APBN yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam rangka memperkuat jejaring kemitraan, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB dan meningkatkan kompetensi petugas kesehatan.

  2. Dana Alokasi Khusus bidang kesehatan yaitu dana perimbangan yang diserahkan kepada daerah untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sehingga setiap daerah dapat melaksanakan program nasional sebagaimana yang telah ditetapkan.

  3. Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang ditujukan langsung kepada fasilitas pelayanan kesehatan untuk menunjang operasional pelayanan.

Studi oleh Collins et al. pada tahun 2015, menunjukkan bahwa beban ekonomi yang berkaitan dengan TB di Indonesia, baik yang mendapat pengobatan maupun yang tidak mencapai angka 6.9 milyar dolar Amerika Serikat (AS).


Lebih dari 86% dari total biaya itu diakibatkan oleh hilangnya produktivitas karena kematian dini. Hilangnya produktivitas karena sakit menyumbang 10% atau sebesar 700 juta dolar AS, biaya pelayanan kesehatan sebesar 2,2% atau sekitar 156 juta dolar AS dan 1,1% atau 74 juta dollar diakibatkan oleh biaya non medis yang dikeluarkan oleh pasien dan keluarga seperti biaya rumah tangga dan transportasi.


Hal ini membuktikan bahwa beban ekonomi yang disebabkan TB di Indonesia sangat besar, sehingga deteksi dan pengobatan secara dini tidak hanya menekan penderitaan pasien tetapi juga secara signifikan menekan beban ekonomi baik bagi negara maupun masyarakat.


Data Diri Penulis:



a. Nama: Irwan Saputra Batubara

b. Pendidikan: MSc Burns, Plastic and Reconstructive Surgery (candidate) at University College London









Referensi:

1. Aditama, T. Y. Tuberkulosis dan Kemiskinan. Maj. Kedokt. Indones. 55, 49–51 (2005).

2. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi Tuberkulosis. InfoDATIN (2018). doi:2442-7659

3. RI, K. Data dan Informasi - Profil Kesehatan Indonesia (Data and Information - Indonesia Health Profil). Profil Kesehat. Indones. 1–184 (2017). doi:10.1037/0022-3514.51.6.1173

4. Lisbet. PENCAPAIAN MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS ( MDGs ). Politica 4, 129–156 (2016).

5. WHO. Global Tuberculosis Report (2018).

6. WHO. Development Era : Moscow Declaration Ending Tb in the Sustainable Development Era : 1–8 (2017).

7. Collins, D., Hafidz, F. & Mustikawati, D. The economic burden of tuberculosis in Indonesia. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 21, 1041–1048 (2017).

8. Permatasari, A. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi Dots. Univ. Stuttgart 1–5 (2005).

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 67 tahun 2016 tentang penanggulangan tuberkulosis. 1–163 (2016).

10. Taylor, G. M. et al. Koch’s Bacillus - A look at the first isolate of Mycobacterium tuberculosis from a modern perspective. Microbiology 149, 3213–3220 (2003).

 
 
 

Comentarios


  • Facebook - White Circle
  • YouTube - White Circle
  • Instagram - White Circle


    Follow us on:


    Background photo credit: UCL, KCL, LSE, QMUL, LBS

    bottom of page