top of page
Search

Gender Pay Gap: Aspirasi Sunyi terhadap Kesetaraan Perempuan

  • Writer: Kastrat PPI London
    Kastrat PPI London
  • Apr 1, 2019
  • 10 min read

Penulis: Melissya Debora Sitopu

image credit: https://www.incimages.com/uploaded_files/image/1940x900/shutterstock_1044140599_359323.jpg

Barangkali tidak ada satu pun orang Indonesia yang tidak kenal pada Raden Adjeng Kartini, simbol perjuangan hak dan kesetaraan kaum perempuan di Indonesia. Lahir dan besar di keluarga priayi, Kartini mendapatkan kemewahan yang tidak dimiliki oleh perempuan pada usianya pada masa itu. Ia bersekolah di Europeesche Lagere School, Sekolah Dasar di zaman kolonial Belanda. Lalu pada usia 12 tahun, ia dipingit dan tidak diperbolehkan keluar dari rumah.


Namun, dari bilik kamarnya yang sunyi itulah Kartini bersurat dengan Rosa Abendanon. Ia menyampaikan pemikiran dan harapannya agar perempuan di kampungnya dapat bersekolah, tidak dipaksa menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya, lalu menjadi istri ke sekian. Dari surat-menyurat tersebut dibukukanlah buku berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Gagasan tentang kesetaraan perempuan – lahir dari seorang remaja yang dibesarkan dalam keluarga dengan adat ketimuran kental – adalah gagasan yang sangat maju pada awal tahun 1900an, saat gerakan feminisme di Eropa pun baru dimulai. Kartini berpikir lebih maju satu abad dari zamannya.


Hari kelahiran Kartini diperingati untuk merefleksikan perjuangan kesetaraan terhadap perempuan di Indonesia. Sudah sampai mana perjuangan ini? Tampaknya, upaya-upaya terhadap kesetaraan perempuan hari ini masih tampak sunyi, sesunyi perjuangan Kartini yang menuliskan mimpinya lewat kamarnya yang sunyi.


Potret Perempuan di Indonesia 115 Tahun Setelah Kartini


Pada 5 Maret lalu, di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo bertemu dengan pelajar dari SMA Taruna Nusantara. Seorang siswi bertanya, “Pak, bagaimana caranya agar kaum perempuan berani menjadi pemimpin?” Lalu Presiden Jokowi menjawab, pemerintah menjamin perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan peran yang sama. Banyak perempuan yang menjadi anggota dewan perwakilan rakyat. Bahkan, sembilan menteri dalam kabinetnya adalah perempuan. Bagaimana faktanya?


Benar, bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam politik saat ini lebih baik dibandingkan dua puluh tahun lalu. Undang-undang No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan sebesar minimal 30 persen dalam kepengurusan partai. Tindakan afirmasi ini telah membuka kesempatan serta menjamin partisipasi perempuan secara legal dalam kegiatan politik.


Tahun 1999, jumlah anggota DPR berjenis kelamin perempuan tidak lebih dari 9 persen. Jumlah ini telah meningkat dua kali lipat pada tahun 2014. Bahkan pada tahun tersebut, DPRD mencatat legislator perempuan berjumlah 25 persen. Meskipun meningkat dua kali lipat dalam dua dekade, angka ini masih di bawah target, yaitu 30 persen untuk mencapai keterwakilan perempuan di parlemen.


Sementara di sektor pendidikan, partisipasi sekolah antara laki-laki dan perempuan pun boleh dikatakan sudah setara. Misalnya, angka melek huruf tidak jauh berbeda (98 persen pada laki-laki dan 97 persen pada perempuan pada tahun 2016[1]). Data pada Grafik 1 di bawah ini menunjukkan terjadi penurunan partisipasi pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, baik pada perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, tingkat partisipasi sekolah antara perempuan dan laki-laki hampir setara di semua jenjang pendidikan. Menariknya, partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi justru melebihi laki-laki, dengan tingkat perbedaan yang cukup signifikan (30 persen pada perempuan vs 26 persen pada laki-laki).


Grafik 1 – Persentase Angka Partisipasi Kasar Pendidikan (2016)



Sumber: Badan Pusat Statistik


Tapi, apa yang terjadi setelah mereka menyelesaikan pendidikan? Kesempatan seperti apa yang dimiliki oleh perempuan setelah mereka memasuki dunia kerja? Lebih penting lagi, seberapa setara kesempatan yang tersedia antara perempuan dan laki-laki?


Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki mulai jelas terlihat ketika mereka dihadapkan pada dunia kerja, seperti ditunjukkan pada Grafik 2 di bawah. Dalam lima tahun terakhir, partisipasi perempuan dalam pekerjaan formal hanya mencapai setengah dari laki-laki, bahkan menunjukkan tren menurun sejak tahun 2012. Artinya, meskipun taraf pendidikan antara perempuan dan laki-laki hampir setara, pendidikan belum mampu mendorong partisipasi perempuan dalam dunia kerja.


Grafik 2 – Persentase Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin (2011-2015)



Sumber: Badan Pusat Statistik


Tingkat partisipasi kerja pada perempuan yang rendah juga menunjukkan kecilnya kesempatan kerja bagi mereka. Hal ini bisa saja karena struktur lapangan kerja di Indonesia didominasi oleh sektor pertanian dan industri, yang umumnya mengharapkan pekerjaan fisik dan memiliki preferensi terhadap laki-laki. Namun di sisi lain, faktor budaya yang memandang laki-laki sebagai pencari nafkah utama turut mempengaruhi minimnya kesempatan kerja bagi perempuan. Perempuan – terutama yang sudah menikah dan memiliki anak – dianggap sebagai kaum yang ‘seharusnya’ tinggal di rumah dan mengurus keluarga, tersandera oleh ‘motherhood penalty’.


Peran dan tanggung jawabnya dalam mengurus rumah tangga membuat perempuan dianggap tidak memiliki komitmen penuh terhadap pekerjaan, misalnya: ekspektasi untuk lembur. Akibatnya, pemberi kerja cenderung memprioritaskan pekerja laki-laki (Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016).


Tapi apa pentingnya kesetaraan gender dalam pekerjaan?


Pertama dan merupakan alasan yang terutama, karena perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, termasuk dalam pembangunan ekonomi dan kesempatan dalam bekerja. Indonesia telah meratifikasi ‘the Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)’ 35 tahun lalu. Hal ini membahas konvensi internasional untuk menghapuskan segala jenis perbedaan perlakuan terhadap perempuan, termasuk dalam ketenagakerjaan.


Kedua, kesetaraan perempuan akan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan dan mempercepat pembangunan ekonomi (McKinsey Global Institute, 2018). Studi oleh World Bank (2012) melaporkan bahwa keterlibatan perempuan dalam perekonomian akan meningkatkan produktivitas, mempercepat pertumbuhan ekonomi, menurunkan angka kemiskinan, dan memperbaiki kesempatan kerja pada generasi mendatang.


BPS memprediksi jumlah perempuan akan melebihi laki-laki mulai tahun 2032. Proporsi ini akan menjadi sumber daya yang signifikan untuk menyangga pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Studi yang dilakukan McKinsey Global Institute memperkirakan, peningkatan kesetaraan antar gender – melalui peningkatan partisipasi perempuan dalam sektor informal (bisnis UKM) maupun angkatan kerja formal – akan menambah PDB sebesar US$ 135 miliar pada tahun 2025 di Indonesia, atau peningkatan sebesar 9 persen dari kondisi saat ini.


Gender Pay Gap sebagai Permasalahan Utama Kesetaraan Gender dalam Pemberdayaan Ekonomi


Selain dari rendahnya tingkat partisipasi dalam pekerjaan, Kementerian PPA menyatakan bahwa permasalahan utama pemberdayaan perempuan dalam pembangunan ekonomi adalah masih adanya praktik diskriminasi. Salah satunya adalah diskriminasi dalam pemberian upah yang mengakibatkan tingginya kesenjangan upah berbasis gender (gender pay gap). Sederhananya, gender pay gap adalah persentase perbedaan antara upah yang diterima perempuan dan laki-laki dalam bekerja (OECD, 2014). Misalnya, gender gap sebesar 50 persen berarti untuk setiap penghasilan sebesar US$ 100 yang dihasilkan oleh laki-laki, sementara perempuan umumnya hanya memperoleh US$ 50.


Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya latar belakang pendidikan, pengalaman bekerja, keterampilan yang dibutuhkan, daya tawar yang dimiliki oleh pekerja, juga diskriminasi. Yang paling banyak mendapat perhatian adalah pay gap yang disebabkan oleh diskriminasi, baik karena disadari maupun yang tidak disadari.


Kesenjangan upah berbasis gender pada dasarnya masih menjadi permasalahan global. World Economic Forum (WEF) mengumpulkan data dari 117 negara dan melaporkan tingkat kesenjangan upah antar gender bahkan meningkat dalam lima tahun terakhir. Grafik di bawah menunjukkan terjadinya peningkatan penghasilan antara perempuan dan laki-laki dalam sepuluh tahun terakhir.


Akan tetapi, peningkatan upah terhadap perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga mengakibatkan gap yang semakin tinggi. Pada tahun 2017, WEF memperkirakan perempuan menghasilkan rata-rata US$12,000 per tahun sementara laki-laki USD22,000 per tahun. Dengan kata lain, gender pay gap secara global mencapai 54 persen, di mana penghasilan perempuan hanya mencapai setengah dari pendapatan laki-laki.


Grafik 3 – Perkiraan Perbandingan Pendapatan antar-Gender secara Global 2006-2017 (USD)



Sumber: Global Gender Index Gap 2017, World Economic Forum


Perlu digarisbawahi bahwa indikator untuk mengukur gender pay gap umumnya berbeda antara satu penelitian dengan lainnya, sehingga memiliki hasil perkiraan yang berbeda-beda. Studi lain yang dilakukan oleh Van Klavern et al. (2012), menyimpulkan bahwa gender pay gap di 42 negara tidak kunjung turun dalam sepuluh tahun terakhir (rentang waktu pertengahan 1990an hingga akhir 2000an), di mana gender pay gap tertinggi adalah di Asia dengan rentang 30-40 persen.


Studi ini menjelaskan sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan di 42 negara yang diteliti. Setelah menghilangkan faktor yang dapat dijelaskan (antara lain kualifikasi pekerjaan, tanggung jawab dalam pekerjaan, pengalaman kerja, dan kebutuhan dari organisasi pemberi kerja), masih ada sekitar 14 persen faktor yang berkontribusi terhadap perbedaan upah yang tidak dapat dijelaskan. Bagian yang tidak dapat dijelaskan ini terindikasi adalah praktik diskriminasi.


Di Indonesia, kesenjangan upah berbasis gender masih luput dari perhatian pemerintah, bahkan minim di kalangan aktivis emansipasi perempuan sehingga data yang tersedia pun masih terbatas. Di sektor non-pertanian gender pay gap memang semakin mengerucut mencapai 12,74 persen pada tahun 2015 (data terakhir yang dipublikasikan oleh Kementerian PPA). Namun, dari total angkatan kerja perempuan di Indonesia, hanya 38 persen yang bekerja di sektor ini; sekitar 62 persen lainnya bekerja di sektor pertanian, di mana pay gap mencapai 43,5 persen pada tahun 2015.


Grafik 4 – Gender Pay Gap menurut Lapangan Pekerjaan 2011-2015



Sumber: Potret Ketimpangan Gender dalam Ekonomi, Kementerian PPA (2016)


Penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank pada tahun 2014 mengenai gender pay gap di Indonesia pun mendapati hal yang sama. Studi ini menyimpulkan bahwa penghasilan perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki di semua tipe pekerjaan, baik pekerjaan penuh waktu (bekerja minimal 35 jam per minggu), pekerjaan paruh waktu (<35 jam per minggu), dan mereka yang setengah menganggur (bekerja <15 jam per minggu), baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan.


Tabel 1 di bawah menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan perempuan 30 persen lebih rendah dari laki-laki. Menariknya, semakin besar waktu yang dialokasikan untuk bekerja, justru pay gap semakin tinggi.


Tabel 1 – Persentase Perbedaan Upah antar-Gender Berdasarkan Kategori Pekerjaan



Sumber: Asian Development Bank (2014)


Studi ini juga menjelaskan penyebab terjadinya gender pay gap[2] dengan mengukur seberapa besar pengaruh usia, lamanya jam kerja, tingkat pendidikan, tipe pekerjaan, dan tipe industri terhadap besarnya penghasilan yang diterima oleh perempuan dan laki-laki terhadap seluruh pekerja di Indonesia[3]. Dari hasil perhitungan tersebut, masih ada sebesar 93 persen faktor lain yang tidak dapat dijelaskan (unexplained factor) yang mempengaruhi pendapatan antara perempuan dan laki-laki. Faktor ini diduga adalah tindakan diskriminasi.


Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa gender pay gap terjadi di Indonesia dan alasan utamanya adalah masih adanya praktik diskriminasi. Terjadinya kesenjangan upah ini bermula dari akses perempuan terhadap pekerjaan yang masih sangat terbatas. Pun bila mereka memperoleh pekerjaan, terdapat perbedaan upah yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan. Sayangnya, permasalahan ini masih luput dari perhatian pemerintah dan sangat sedikit terdengar upaya-upaya aktivisme untuk memperjuangkan hal ini. Padahal, keterlibatan perempuan dalam pembangunan ekonomi, seperti yang dijelaskan di atas, dapat mempercepat pembangunan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup generasi mendatang.


Bukan Sekedar Instrumen Kebijakan Pengarusutamaan Gender


Perjuangan yang dimulai oleh Kartini lebih dari 100 tahun lalu untuk memberikan akses pendidikan kepada perempuan memang telah dicapai. Secara internasional, Indonesia dianggap telah berhasil menjamin kesetaraan akses pendidikan, baik terhadap perempuan dan laki-laki. Data di atas (pada Grafik 1) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam pendidikan telah menyamai laki-laki, bahkan partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi melebihi laki-laki. Akan tetapi, tantangan hari ini tidak cukup pada status pendidikan saja. Menjamin keberlangsungan pemberdayaan perempuan sama pentingnya, bahkan lebih penting.


Di tengah minimnya upaya untuk memperjuangkan kesetaraan dalam hal pekerjaan, langkah apa yang diperlukan untuk menjawab tantangan ini?


Dari segi kebijakan, masih banyak area yang perlu ditingkatkan kinerjanya. Pemberdayaan perempuan perlu dilakukan secara holistik, mulai dari


  1. meningkatkan perbaikan infrastruktur (seperti ketersediaan air, listrik, gas, akses jalan, hingga sanitasi) untuk mempermudah kaum perempuan dalam urusan rumah tangga;

  2. memperkuat peranan perempuan di sektor informal, seperti akses pendanaan, teknologi, dan pendampingan bisnis dalam mengembangkan UKM untuk memperkuat kapasitas finansial keluarga; dan

  3. Memperkuat peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan dalam ketenagakerjaan, termasuk juga memberikan cuti terhadap ayah, untuk memberi akses yang sama bagi perempuan dan laki-laki di sektor pekerjaan formal. Serangkaian kebijakan ‘pengarusutamaan gender’atau gender mainstreaming ini bukanlah hal yang baru, namun perlu komitmen politik dari para pembuat kebijakan untuk memprioritaskannya.


Namun, yang terpenting adalah pendekatan kultural dan sistematis untuk menghilangkan praktik diskriminasi. Tindakan diskriminasi terhadap perempuan dalam dunia pekerjaan tidak luput dari nilai-nilai yang melekat pada masyarakat. Persepsi bahwa ‘kodrat’ perempuan adalah urusan rumah tangga secara tidak langsung mempengaruhi persepsi tentang kapasitas perempuan dalam urusan non-domestik, termasuk dalam pekerjaan.


Hal ini tercermin dalam sejumlah penelitian yang menyimpulkan bahwa nilai-nilai ini mengakibatkan perempuan terdidik untuk tunduk pada otoritas dan cenderung menghindari persaingan dan risiko. Padahal persaingan dan pengambilan risiko merupakan aspek yang sangat penting dalam pekerjaan.


Studi oleh Niederle dan Vesterlund (2007) misalnya, menemukan bahwa perempuan cenderung enggan untuk berkompetisi meskipun mereka memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Melalui eksperimen hitungan matematika sederhana di mana peserta diberi pilihan untuk berkompetisi dan non-kompetisi antara anak perempuan dan laki-laki, ditemukan bahwa 73 persen laki-laki memilih untuk terlibat dalam kompetisi sementara perempuan hanya 35 persen.


Studi ini kemudian ditindaklanjuti oleh Andersen et al. (2013) untuk melihat apakah keengganan berkompetisi merupakan bawaan lahir atau hasil dari konstruksi sosial. Penelitian ini dilakukan dengan eksperimen terhadap sekelompok anak-anak dan remaja (rentang usia 7 hingga 15 tahun) di lingkungan masyarakat patrilineal dan matrilineal[4] di India.


Pemilihan struktur masyarakat patrilineal dan matrilineal bertujuan untuk melihat apakah nilai yang dianut anak-anak dalam komunitas masyarakat tersebut mempengaruhi persepsi mereka terhadap preferensi untuk berkompetisi. Eksperimen ini meminta peserta untuk melemparkan bola ke gawang dan mereka diberi pilihan untuk terlibat dalam kompetisi atau non-kompetisi, dengan insentif lebih besar bagi anak yang memilih kompetisi. Hasilnya, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap preferensi untuk bermain dalam kompetisi di kelompok anak yang berusia di bawah 13 tahun, baik di masyarakat patrilineal maupun matrilineal. Akan tetapi, ketika anak mulai memasuki masa remaja (di atas 13 tahun), mulai tampak perbedaannya. Anak remaja perempuan di kelompok matrilineal memiliki preferensi kompetisi yang lebih tinggi daripada anak remaja perempuan di kelompok patrilineal.


Perlu digarisbawahi bahwa studi ini dilakukan pada sampel yang terbatas sehingga belum tentu berlaku universal. Namun, temuan pentingnya adalah besar kemungkinan bahwa nilai-nilai yang dianut dan persepsi yang dibangun mengenai peran perempuan dan laki-laki adalah hasil dari konstruksi sosial. Ketika memasuki dunia remaja, anak mulai memahami norma sosial yang ‘ditanamkan’ kepada mereka. Dalam contoh kasus berkompetisi, misalnya, anak perempuan yang besar dalam budaya patriarki mulai ‘menyesuaikan diri’ terhadap norma yang berlaku, di mana kompetisi adalah ranah laki-laki.

Hal ini berimplikasi penting terhadap bentuk kebijakan yang relevan.


Istilah ‘pengarusutamaan gender’ belakangan menjadi jargon yang digunakan oleh para pembuat kebijakan. Mempertimbangkan aspek gender dalam proses pembuatan kebijakan merupakan hal yang penting. Namun yang lebih penting lagi adalah pendekatan kultural sejak dini, terutama ketika anak memasuki masa remaja, untuk menanamkan nilai-nilai yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan setara. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan pembekalan pada orang tua dalam pendidikan keluarga serta meningkatkan program-program kepemimpinan dan kompetisi di tingkat SMP. Tentu saja ini adalah taruhan jangka panjang. Perubahan paradigma barangkali membutuhkan waktu lintas tiga generasi.


Gagasan Kartini terhadap kesetaraan pendidikan dimulai 100 tahun lalu dan hari ini perempuan maupun laki-laki di Indonesia memiliki hak yang sama. Sudah saatnya kita memasuki perjuangan tahap ke dua, yaitu kesetaraan dalam pembangunan ekonomi. WEF (2018) memprediksi kesetaraan upah baru mungkin tercapai 200 tahun lagi. Seberapa mampu Indonesia mencapai lebih cepat dari itu? ***


Data Diri Penulis:


a. Nama: Melissya Debora Sitopu

b. Pendidikan: Master of Arts - Public Policy (candidate) at King's College London

c. Kontak: melissya.sitopu@kcl.ac.uk






[1] Menurut data Badan Pusat Statistik terakhir.


[2] Metode penelitian dilakukan dengan analisis regresi berganda (metode statistik yang umum digunakan untuk mencari hubungan sebab akibat dari berbagai faktor penyebab.


[3] Data diperoleh dari Survey Angkatan Kerja Nasional 2010.


[4] Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Matrilineal adalah adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu.


Referensi:

_____ (2012) Toward Gender Equality in East Asia and the Pacific: A Companion to the World Development Report, Washington DC: World Bank.

_____ (2018) Global Gender Gap Report 2018, Geneva: World Economic Forum.

_____ (2016) Potret Ketimpangan Gender dalam Ekonomi, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Andersen, S. et al. (2013) ‘Gender, Competitiveness, and Socialization at a Young Age: Evidence from a Matrilineal and a Patriarchal Society’, dalam The Review of Economics and Statistics, 95 (4), hlm. 1438–1443.

Niederle, M. dan Vesterlund, L. (2007) ‘Do Women Shy Away from Competition? Do Men Compete Too Much?’, dalam The Quarterly Journal of Economics, 12 (31), hlm. 1067–1101.

Taniguchi, K. dan Tuwo, A. (2014) New Evidence on the Gender Wage Gap in Indonesia, Manila: Asian Development Bank.

Tijdens, K. dan can Klaveren, M. (2012) Frozen in Time: Gender Pay Gap Unchanged for 10 Years, Brussels: International Trade Union Confederation.

Woetze, J. et al. (2018) The Power of Parity: Advancing Women’s Equality in Asia Pacific, Focus on Indonesia, Shanghai: McKinsey Global Institute.

 
 
 

Comentários


  • Facebook - White Circle
  • YouTube - White Circle
  • Instagram - White Circle


    Follow us on:


    Background photo credit: UCL, KCL, LSE, QMUL, LBS

    bottom of page